Jumat, 30 November 2007

Rakyat bertanya, wakil rakyat menjawab

Menhut Kecam Perda Karhutla Riau, demikian Riau Pos Edisi 12 Juni 2007, Hal 1, dan saya sudah baca komentar Pak Ketua dihalaman yang sama, tapi mungkin sang menteri Kehutanan belum membacanya, dan belum mendengar keluhan rakyat kecil bahwa larangan membakar lahan tanpa batas toleransi tersebut sangat-sangat menusuk perasaan rakyat. Padahal selama ini didepan mata kepala kami banyak kalangan pengusaha perkebunan berskala besar yang membuka lahan perkebunan dengan cara membakar hutan, termasuk Keluarga Pak Menteri sendiri yang membuka lahan perkebunan di Rohul. Saat ini, setelah para pembuka lahan tersebut merasa aman dan memetik hasil Panennya baru ada aturan main yang mengekang tanpa batas toleransi. Kalau mau dilarang, kenapa tidak dari awal, bukankah kabut asap akibat pembakaran lahan tersebut sudah puluhan tahun terjadi.
Jika ketemu dengan Pak Menteri tersebut, mohonlah sampaikan keluhan kami, dilarang membakar lahan kami setuju, tapi jangan sampai membakar sampah dihalaman rumah kamipun tak bisa.
wassalam dan terima kasih
Asmari Rahman
Dari : Asmari Rahman, Pekanbaru, Riau, 12 Jun 2007, 13.00.1 WIB

Tanggapan dari drh. Chaidir, MM untuk Asmari Rahman
Selaku Ketua DPRD Riau saya menerima banyak aspirasi dukungan dari masyarakat desa kita ketika saya berkunjung ke desa-desa. Memang demikianlah maksud DPRD Riau dgn dikeluarkannya Perda tersebut. Kita ingin memberikan perlindungan kepada masyarakat kecil di desa yang mengolah lahannya sendiri. Kalau tidak boleh dibakar sedikit pun, dengan apa mereka akan membersihkan lahannya? Yang punya alat berat untuk pembersihan lahan (land clearing) adalah pengusaha kuat, petani kecil tidak punya. Kalau masyarakat kecil kita semua ditangkap karena membersihkan lahan mereka dengan pembakaran, maka akan penuhlah rumah tahanan kita. Apa itu maunya pemerintah? Saya terus terang sangat sedih. Tadinya Mendagri sudah setuju dengan Perda tersebut terbukti dalam hasil evaluasi terhadap Perda tersebut setelah memanggil DPRD Riau untuk berkonsultasi, Mendagri mengeluarkan surat tertanggal 27 Juli 2007, tetapi kemudian melalui surat tertanggal 28 Agustus 2007, hasil evaluasi tersebut dibatalkan oleh Mendagri dan menolak Perda tersebut. Kemana sebetulnya pemerintah kita berpihak? Apakah untuk kepentingan lingkungan hidup masyarakat kecil harus menjadi korban? Saya kira tidak demikianlah pendekatan. Seharusnya lingkungan hidup untuk manusia bukan manusia untuk lingkungan hidup...
Quo Vadis Pemerintah?

Salam prihatin Chaidir.

Jumat, 23 November 2007

Pak Ketua

Jalan Mulus Pak Ketua (Catatan Ringan dari Konvensi PG Rohil)
Oleh admin
Selasa, 24-Januari-2006, 02:15:15
2 klik


Oleh: Asmari Rahman
Sebuah lembaga survei independen yang ditunjuk oleh DPP Partai Golkar, (PG) telah merekomendasikan lima nama yang berhak mengikuti konvensi Partai Golkar di Kabupaten Rokan Hilir. Hasil konvensi tersebutlah nantinya yang akan ditetapkan sebagai calon bupati yang akan diusung oleh PG dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) Rohil.
Satu dari lima nama tersebut adalah Anas Ma’mun, Ketua DPD PG Rohil. Terpilihnya Anas sebagai peserta konvensi tentulah hal yang lumrah terjadi, karena ia pemegang teraju partai berlambang pohon beringin itu. Tapi pemunculan empat nama lainnya menjadi menarik untuk disimak, dan menyisakan pertanyaan, dari mana sesungguhnya lembaga independen itu memulai surveinya ?
Ilyas RB misalnya, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Bupati Rohil. Pada Pilkada lima tahun lalu, di dalam lembaga legislatif, ia dicalonkan PDI Perjuangan, dan saat ini sedang ditimbang ulang oleh partai yang sama untuk dicalonkan sebagai Bupati Rohil. Awalnya Bung Ilyas memanglah seorang kader Golkar (dulu dari jalur Birokrasi mengingat beliau adalah seorang PNS), tapi sekarang sudah jauh dari PG dan sedang merajut tali kemesraan dengan PDI Perjuangan. Tidak hanya itu, ia juga dekat dengan PKB, mengingat ia juga Ketua Nahdlatul Ulama Kabupaten Rohil, sebuah organisasi yang membidani kelahiran PKB.
Kemudian ada Rusli Effendi, anggota DPRD Provinsi Riau dan Ketua Partai Persatuan Pembangunan Rohil. Ada pula nama Herman Sani, seorang PNS yang mengabdi di Bappeda Provinsi Riau. Figur yang satu ini betul-betul tidak ada bau kunyit serainya dengan Golkar, bahkan sempat diisukan akan diusung oleh Partai Persatuan Pembangunan untuk bertarung dalam Pilkada, tapi masuk dalam daftar peserta konvensi yang direkomendasi oleh lembaga survei independen tersebut.
Yang menjadi pertanyaan adalah, ke mana sesungguhnya lembaga survei ini merujuk? Sehingga muncul nama-nama yang tidak capable dan acseptable di mata kader Golkar Rohil, kecuali Anas Ma‘mun? Sang ke-tua yang mahir melobi dan piawai memetik dawai gambus politik, se-hingga peserta tari dan penonton di panggung politik Rohil menari bak berjalan di atas papan terjungkit.
Pak Ketua mengerti betul, bahwa Rapat Pimpinan PG Rohil tak mungkin memilih selain namanya, karena pesaingnya dalam konvensi adalah orang-orang yang berada di luar rumah tangga PG. Ini tidak bisa dinafikan lagi, terlebih-lebih pembinaan ke Pimpinan Kecamatan selama ini cu-kup intensif dilakukan Pak Ketua.
Sesungguhnya masyarakat Rohil tengah menunggu dan berharap agar PG dapat melahirkan calon pemimpin yang berkualitas. Justru itulah kiranya selain Anas Ma‘mun, hendaknya tampil juga kader-kader muda Golkar yang potensial dalam konvensi tersebut, sehingga pemunculan nama calon Bupati Rohil dari PG benar-benar telah melalui sebuah proses demokrasi dan menghasilkan keputusan yang bernas.
Tapi apa lacur, lembaga survei independen telah merekomendasikan lima nama. Tapi dari lima nama tersebut hanya Anas Ma‘mun satu-satunya yang benar-benar kader PG, sedangkan empat tokoh lainnya ha-nyalah peserta luar pagar belaka.
Dalam era reformasi ini, sesungguhnya sah-sah saja menerima fi-gur lain yang bukan kader partai, dan itu memang sangat diharapkan. Tapi bagi partai besar seperti PG Rohil, apakah sudah tidak punya kader yang lain lagi selain Anas, sehingga Anas terpaksa tampil sendiri dalam konvensi? Apakah mungkin hanya Anas Ma‘mun sendiri yang layak tampil dan laku dijual, sehingga peserta konvensi PG Rohil didominasi orang-orang dari luar partai?
Jika peserta konvensi menampilkan orang-orang berada di luar PG yang independen (non partisan), mungkin dapat kita pahami sebagai upaya untuk memberi peluang kepada calon-calon pemimpin yang berada di luar partai politik, tapi toh itu juga tidak dilakukan. Apakah ini berarti bahwa PG dengan sadar dan sengaja melakukan hal ini guna memuluskan jalan bagi sang ketua? Karena bersaing dengan sesama kader sangat membahayakan bagi kelangsungan pencalonannya sebagai Bupati Rohil mendatang? Itulah barangkali perlu diatur langkah sejak awal, agar nama-nama yang masuk sebagai peserta konvensi adalah orang-orang yang tidak berpotensi mengganggu pencalonannya.
Jika dugaan ini benar adanya, maka sesungguhnya perlu dikaji u-lang peristiwa dan pengalaman pahit yang dialami oleh PG pada Pilkada di beberapa daerah tahun lalu, di mana calon-calon yang diajukan PG, bergelimpangan menuai kekalahan. Dan esbagai partai besar dan berpengalaman, hal ini amatlah disayangkan.
Memang selain keempat pesaing yang telah disebutkan di atas, ada lagi nama Suyatno, . seorang PNS di Rohil yang sejak awal memang sudah dipersiapkan untuk mendampingi sang ketua maju ke gelanggang pertarungan Pilkada. Jadi bagi sang ke-tua tidak ada kekhawatiran sedikitpun bahwa Suyatno akan memotong di tikungan.
Survei telah berakhir, dilanjutkan dengan Rapimda, yang tak lain memunculkan nama Anas Ma‘mun yang dipilih oleh 97 persen peserta Rapim. Melengganglah ‘Pak Ketua’ sebagai calon Bupati Rokan Hilir pada Pilkada bulan April 2006.
Pertanyaan berikutnya adalah, mampukah Anas Ma‘mun meraih suara terbanyak Pilkada tersebut? Inilah yang perlu direnungkan oleh segenap pimpinan dan kader PG di Rhil. Pertarungan mendatang bukan lagi pertarungan memperebutkan pe-rahu partai, tapi pertarungan merebut hati rakyat Rohil yang terdiri dari berbagai golongan, suku, agama, tingkat kecerdasan dan tingkat kesejahteraan, serta memiliki banyak kepentingan pula. Banyak hal yang akan menjadi tolok ukur bagi pemilih dalam menetapkan pilihannya.
Satu hal yang sangat krusial adalah letak Ibu Kota Kabupaten. Mungkin bagi masyarakat Tanah Putih dan sekitarnya akan berkutat dengan per-tanyaan, kapan Ibu Kota Rohil pindah ke Ujung Tanjung? Pertanyaan lain akan diajukan oleh pemilih dari Bagan Siapiapi dan sekitarnya, apakah Ibu Kota Rohil akan dipindahkan ke Ujung Tanjung? Pertanyaan pelik menyangkut kepentingan rakyat banyak dan elite partai juga akan bermunculan, apalagi jika dikaitkan dengan isu kegagalan Pemkab Rohil sekarang yang membuahkan suara sumbang “kembali ke kabupaten induk”.
Pak Ketua perlu menyadari sepen-uhnya, memimpin Rohil ke depan, se-perti mendaki bukit yang terjal dengan beban berat di pundak. Semuanya akan menguras tenaga dan pikiran, serta akan menyita waktu. Bagi penulis, inilah kekhawatiran yang paling besar, mengingat usia Pak Ketua yang sudah tidak muda lagi.***

Asmari Rahman,
Putra Rokan Hilir, saat ini Bermastautin di Pekanbaru

Juru Masak

Juru Masak

Suatu kentika kondisi perusahaan tempatku bekerja sudah mulai megap-megap, karena kesulitan bahan baku, diruangan bersuhu dingin itu kelihatan pimpinan perusahaan berkeringat memimpin rapat, kami yang hadir waktu itu merasakan ketegangan itu tapi tidaklah separah sang pimpinan, namun ketika beliau sampai pada keputusan akan mengurangi jumlah karyawan sebanyak 20 prosent, maka giliran sayalah yang berkeringat, karena tidak tau siapa yang akan diusulkan untuk di PHK.
“Dari bagian Shipping berapa jumlah karyawan ?
“Dua puluh pak,.
“Berapa jumlah karyawan yang diusulkan untuk di PHK
.”Tidak ada Pak, kami dikantor Cuma 3 orang, sisanya yang 17 itu ada di Kapal Pluto dan Aristo.
“Kalau begitu, jumlah crew tiap-tiap kapal itu dikurangi.
“Tidak bisa pak, formasinya sudah minimal
“Paling tidak, juru masaknya yang diberhentikan.
“Tetap saja tidak bisa pak, jawabku dengan agak gugup
“Kenapa ?” bentaknya memotong jawabanku
“Karena dilaut tidak ada rumah makan,
Mendengar jawabanku tersebut sang pimpinan kontan naik pitam dan berujar, ”kalau begitu kamu saja yang angkat kaki dari sini,” katanya sambil meninggalkan ruangan rapat

Bangkrut

BANGKRUT

Diujung tahun 1989, di Sei. Pakning, seorang petugas Patroli masuk ke TB. Ocean Pluto. Saat itu aku sedang bercengkrama dengan beberapa crew diruang kemudi yang sempit.

“Mana kapten ? suasana hening seketika, tak satupun diantara mereka yang berani menjawab. “Ayo, kamu masih anak-anak koq main-main dikapal, keluar,” bentaknya sambil mempelototkan matanya kepadaku pertanda mengusir. Dan tak lengah lagi dengan tulang lututnya yang menggigil aku melompat ketongkang Rantau Perkasa menyelamatkan diri, dan selanjutnya entah apa yang mereka bicarakan tak dapat dimengerti, tapi yang jelas beberapa saat kemudian sang Kopat (Komandan Patroli) kembali berteriask memanggilku

“Ternyata kamu yang mengurus kapal ini ya, sekarang Kami butuh minyak, tolong bantu satu drum,” katanya dengan nada kesal, lalu dengan enteng aku menjawab, “kapal ini tidak mengangkut minyak Pak, muatannya hanya Plywood.
“Pengertianlah, jangan belagak pilon kamu, mau aman atau tidak.” Katanya mengancam.
“Mengerti sih mengerti pak, tapi ya itu tadi, muatan kami hanya plywood, bukan minyak, Bapak keliru barang kali, kapal yang membawa minyak itu dia jawabku sambil menunjuk ke MV. Pan Oil yang labuh tidak seberapa jauh dari situ.
Mendengar jawaban tersebut, sang Kopat menendang pintu Tug, sambil menggerutu,”orang tolol koq disuruh ngurus kapal, bakal bangkrutlah perusaan ini, katanya sambil berlalu.
“Entah siapa yang tolol pak, jawabku (tapi dalam hati) mengiringi kepergian sang kopat.